Segenap Redaksi Jafek Mengundang teman-teman alumi FE UNS untuk menjadi kontributor Jafek online, dengan cara mengirimkan alamat email ke jafekuns@gmail.com, atau mengisikannya ;ewat kolom comment di blog ini....Salam Sukses

Thursday, November 13, 2008

Obama Saja Bisa




Jumat, 14 November 2008 pukul 07:20:00

Oleh Zaim Uchrowi

Setelah sepekan membuat tercengang dunia, apalagi yang dapat dipercakapkan soal Obama? Pelajaran apa yang dapat ditarik dari sosok Amerika yang berdarah setengah Afrika ini? "Ada," kata seorang rekan. "Obama baca buku Balai Pustaka. Balai Pustaka ikut berperan untuk menjadikan Obama seperti sekarang." Apa maksudnya? Belum selesai saya mengunyah pernyataan itu, ia berkata lagi. "Kan Obama sekolah di SD Negeri di Menteng, Jakarta. Buku pelajaran di SD itu dulu terbitan Balai Pustaka semua. Jadi, dia pasti baca buku Balai Pustaka."

Sebuah ucapan buat menghibur saya yang kini menakhodai perusahaan penerbitan bersejarah milik negara ini. Seorang lain berkomentar. "Kalau Obama bisa, kita semua pasti bisa." Apakah ini menyangkut mengejar harapan yang seolah tak mungkin? Atau soal lainnya? "Obama yang cuma empat tahun di Indonesia saja bisa mengubah dunia. Kita yang seumur-umur tinggal di Indonesia semestinya bisa melakukan hal yang lebih hebat lagi," ucapnya sambil melempar senyum, yang mudah-mudahan bukan isyarat tak percaya diri, melainkan ekspresi dari sikap percaya diri.

Banyak yang dapat dipercakapkan tentang Obama. Banyak pula pelajaran darinya yang telah dibahas. Tapi, tak sedikit dari pelajaran itu yang baik untuk diulang-ulang dan digarisbawahi bagi bangsa ini. Di antara sekian banyak pelajaran yang dapat diambil, setidaknya terdapat tiga nilai yang sebaiknya diadopsi bangsa ini. Pertama, kesadaran tentang perlunya perubahan. Secara umum, kesadaran ini masih sangat rendah pada bangsa ini. Taraf perekonomian masyarakat yang relatif masih rendah, tata lingkungan yang cenderung makin rusak, layanan publik yang jauh dari memadai, penegakan hukum yang dipandang masih belum tegak, banyaknya penyakit sosial yang belum teratasi, dan banyak realita lain semestinya telah cukup untuk membuka mata kesadaran bahwa bangsa ini harus segera berubah bila ingin menjadi bangsa yang adil makmur seperti yang dicita-citakan. Tapi, yang terjadi, kita cenderung takut pada perubahan.

Adanya yang baru yang dikejar melalui perubahan dipandang mengandung ketidakpastian. Sedangkan ketidakpastian selalu mencemaskan. Itu yang acap kita hindari. Kita cenderung memilih sikap 'mapan', meskipun mapan dalam ketidaknyamanan. Kita biasa menyaman-nyamankan diri dalam ketidaknyamanan apa pun. Kita biasa menerima setiap keadaan sebagai 'takdir yang harus disyukuri'. Meskipun keadaan itu adalah ketidakberesan dan bahkan ketidakbenaran. Padahal, yang benar-benar meyakini takdir justru orang-orang yang paling siap menyongsong dan membuat perubahan. Orang yang paling bersyukur justru yang bekerja keras. Fenomena Obama mengingatkan: ayo berubah bila ingin benar-benar makmur.

Kedua, keberanian untuk bercita-cita. Seorang yang dianggap hitam dari kalangan biasa yang lahir dan besar di Hawaii di atas kertas mustahil menjadi elite kepemimpinan Amerika. Kepemimpinan yang selama ini dianggap jatah tokoh Putih-Anglo Saxon-Protestan (WASP). Obama menunjukkan tidak ada yang mustahil bagi seorang yang punya cita-cita dan harapan yang sangat kuat buat menggapai cita-cita dan harapannya. Sebagai bangsa yang lama terjajah, terkungkung budaya feodal, dan gampang melempar tanggung jawab pada takdir, kita sering tak berani bercita-cita. Padahal, bercita-cita itu gratis. Tanpa modal apa pun. Kalau membuat yang gratis saja tak mampu apakah layak bila berharap makmur?

Ketiga, senantiasa bersikap positif. Obama bukan seorang yang suka berkeluh kesah, dan mengkritik kiri-kanan. Sebaliknya ia selalu bersikap positif, dan mengajak secara positif bangsanya buat melangkah ke depan secara lebih baik. Energi positif Obama yang membuat dunia kini menatap Amerika. Energi positif seperti itulah yang perlu terus kita kembangbiakkan di dalam setiap diri kita masing-masing hingga bangsa ini menjadi bangsa yang berjaya dan bermartabat. Obama saja bisa. Mengapa kita tidak? (*)

0 Comments:

Post a Comment