Segenap Redaksi Jafek Mengundang teman-teman alumi FE UNS untuk menjadi kontributor Jafek online, dengan cara mengirimkan alamat email ke jafekuns@gmail.com, atau mengisikannya ;ewat kolom comment di blog ini....Salam Sukses

Wednesday, May 9, 2007

Opini













BENCANA DI BUMI KITA
Oleh : Djoko Karyono – Alumni FE UNS ‘79

Masih lekat dalam ingatan kita peristiwa gempa bumi yang terjadi pada 27 Mei 2006 lalu di Jogjakarta. Gempa bumi tektonik berkekuatan 5,9 skala richter itu mengakibatkan puluhan ribu orang meninggal dunia.

Saya mengirim milis kepada beberapa kolega saya, seperti ini : hari ini kembali kita menangis menyaksikan puluhan ribu manusia tak berdaya menerima takdirnya. Tak kuasa saya menyaksikan gambaran kepedihan ini yang setiap hari terpampang di layar kaca. Betapa anak-anak kita yang sangat mungkin belum berdosa, ikut menjadi korban entah karena apa.
Sangat mengusik nurani ketika pergantian tahun 2006 ke 2007 ini kecelakaan dan bencana kembali silih berganti menerpa kehidupan masyarakat Indonesia. Dan ditengah bencana yang belum nampak mereda ini, kembali kita mencoba merenungi makna bencana di bumi dan dalam kehidupan kita.

Bencana dari Laut
Masih segar dalam ingatan kita ketika bencana terdasyat dekade ini meluluh lantakan daerah Aceh. Pada tanggal 26 Desember 2004 gempa bumi yang diikuti dengan terjadinya gelombang tsunami menerjang daratan Bumi Serambi Mekah. Ratusan ribu orang meniggal dunia menjadi korban bencana dan tidak ternilai harta benda yang musnah akibat gelombang laut yang sangat dasyat yang disebut tsunami itu.
Sepertinya lautan belum selesai menunjukan kemarahannya, dalam waktu yang berurutan kembali gelombang laut mengamuk menghancurkan Nias dan sekitarnya. Korban manusia dan harta benda kembali berhamburan.
Pasca bencana yang bermuasal dari lautan itu, manusia dengan segala daya dan upaya mencoba merumuskan nalar gempa dengan berbagai cara. Semua tertuju pada upaya agar manusia bisa mendeteksi terjadinya tsunami. Dengan demikian diharapkan dampak negatif dari terjadinya tsunami dapat dikurangi. Para ahli dari berbagai negara yang mendedikasikan dirinya untuk memitigasi gempa dan bencana segera berkumpul. Mereka mengadakan seminar dan workshop, sekali lagi dengan satu tujuan mendeteksi terjadinya tsunami.
Dua tahun sudah tsunami di Aceh dan Nias berlalu. Bahkan pada bulan Desember 2006 lalu orang mengheningkan cipta untuk mengenang bencana tsunami di Aceh. Namun hingga saat ini keinginan untuk menciptakan alat pendeteksi tsunami belum juga terbukti.

Bencana dari Darat
Ibarat belum juga kering air mata menangisi warga Aceh yang menjadi korban bencana tsunami, kembali kita tersentak ketika tiba-tiba bumi Jogjakarta dan sekitarnya gonjang ganjing digoyang gempa bumi yang begitu mengerikan. Puluhan ribu manusia dalam waktu yang bersamaan meninggal menjadi korban.
Sungguh diluar dugaan kita. Faktanya adalah sebelum terjadi gempa bumi yang berpusat di sekitar bantul Jogjakarta itu, justru gunung Merapi yang dikawatirkan akan menebarkan petaka. Ketika mata dunia tertuju pada kemarahan Merapi, ketika ratusan ribu orang lari mengungsi menghindari awan wedus gembel dan ketika mbah Marijan metekhung bersemedi untuk memohon agar merapi sirep dari kemarahannya, byar…bencana datang dengan bukan alang kepalang. Bukan dari Merapi seperti yang diperkirakan banyak orang, tetapi dari dalam kerak bumi dan kali ini bencana di daratan.
Belum cukup cukup sampai disini, bencana demi bencana masih senantiasa menghantui kehidupan masyarakat Indonesia, diantaranya tsunami yang melanda pantai Pangandaran kemudian yang paling fenomenal adalah bencana Lumpur lapindo.
Bencana ini ibarat kriwikan dadi grojogan, dari lubang kecil tempat pengeboran minyak/gas bumi menyembur lumpur panas yang tiada mau berhenti. Mulanya lubang itu hanya berdia meter 1 sampai 2 meter. Logika kitapun mengatakan apasih susahnya menutup lubang sekecil itu, tetapi ternyata sudah hampir 1 tahun semburan lumpur tersebut belum juga dapat diatasi. Ribuan rumah terendam lumpur, puluhan ribu orang kehilangan harta benda yang mereka miliki. Tim ahli silih berganti mencoba mengatasi, namun hingga saat ini belum ada hasilnya. Lumpur tetap menyembur bahkan semakin dasyat saja dan sekali lagi bencana ini terjadi di daratan.

Bencana dari Udara
Dimuka kita sudah menyebut bencana yang berasal dari lautan kemudian bencana di daratan. Kini menjelang tahun 2006 berakhir tepatnya tanggal 29 Desember 2006 kembali kita ditimpa bencana. Kali ini dari udara, yaitu berupa cuaca buruk yang menengelamkan kapal Senopati Nusantara di perairan Mandalika sebelah utara Jepara. Tercatat dari enam ratusan penumpang sekitar dua ratus lebih penumpang hilang bersama kapal yang tenggelam.
Semua daya upaya telah dikerahkan untuk menemukan bangkai kapal, namun sesuatu yang kelihatan sederhana ini ternyata berujung pada misteri karena hingga saat ini bangkai kapal belum juga diketemukan.
Kemudian pada tanggal 1 Januari 2007 tragedi melanda penumpang Adam Air. Dua ratusan orang penumpang bersama awak pesawat hingga kini belum diketahui nasibnya.
Untuk menunjukan keseriusan menanggulangi bencana, maka bantuan asing dengan terpaksa diterima. Tidak kurang dari negara super hebat, negara adidaya dalam segala hal yakni Amerika Serikat mengulurkan bantuan untuk mencari dan menemukan bangkai pesawat Adam Air, namun pesawat yang sudah tergolong canggih ini juga hilang menyisakan misteri.

Apakah yang tersisa.
Ternyata yang tersisa adalah ketidak berdayaan manusia. Sekiranya memang manusia ini ada dan hidup dengan berbekal kemampuan untuk mengatasi segala marabahaya yang akan menimpanya, mestinya saat ini sudah dapat memperkirakan kapan dan dimana bakal terjadi gempa bumi, mestinya lubang lumpur lampindo cepat bisa ditutupi dan kapal Senopati Nusantara serta pesawat Adam Air tidak hilang menjadi mesteri.
Pada waktu Hari Raya Haji tanggal 26 Desember 2006, seorang khotib di kampung saya meberikan khotbahnya mengenai bagaimana memaknai gempa. Dia bukanlah da’i kondang yang terpandang, bukan pula da’i ngetop yang sering muncul laksana bintang sinetron. Bahkan jamaah yang hadirpun tidak banyak yang mengenal nama khotib tadi. Gambaran yang memperkuat kesederhaannya adalah dalam berkotbahpun da’i ini menggunakan bahasa jawa seakan ia tidak lancar berbahasa Indonesia.
Katanya ada tiga sikap memaknai terjadinya gempa yang melanda Indonesia. Pertama, bagi orang yang tidak beriman, gempa dinilai sebagai hukuman. Dalam hal ini orang memandang apa yang terjadi adalah hukuman dari Tuhan. Pendapat ini mewakili pandangan bahwa karena manusia telah banyak berbuat dosa, maka Tuhan murka atas perbuatan dosa manusia dan oleh karenanya pastaslah Tuhan menjatuhkan hukuman kepada manusia dalam bentuk tragedi kecelakaan dan gempa.
Kedua, bagi orang yang imannya kurang kuat, gempa yang terjadi adalah peringatan. Dengan peringatan itu diharapkan iman yang masih kurang kuat menjadi lebih kuat, tetapi bisa juga peringatan berupa gempa tadi berakibat keimanan manusia semakin menipis. Pandangan ini ditandai dengan penghujatan kenapa bukan orang yang berdosa saja yang jadi korban gempa dan bencana. Kenapa bayi-bayi yang belum punya dosa juga menanggung akibatnya.
Ketiga, bagi orang yang beriman gempa adalah ujian atas keimanannya. Atas ujian itu maka semakin bertambah saja imannya, karena adanya kesadaran segala yang gempa yang menimpa dunia, juga kecelakaan yang menimpa manusia tidak lain adalah akibat dari kekurangan, keteledoran, kesalahan, kesombongan dan ketamakan manusia. Tidak ada keburukan yang datang dari Tuhan, segala keburukan pada hakekatnya tidak lepas dari perbuatan manusia itu sendiri.

Penutup
Ketika seorang dengan suka rela menyerahkan serpihan pesawat Adam Air yang ditemukannya, maka entah dengan nalar dan perhitungan apa diterakanlah orang tadi bak bahlawan. Dengan demikian syahlah kiranyanya kalau ia diberikan hadiah jutaan rupiah. Tapi kemudian terperangahlah dan tertunduk-lesulah kita, manakala televisi memunculkan berita bahwa banyak orang yang menemukan serpihan pesawat Adam Air tidak mau menyerahkan apa yang mereka temukan dengan alasan karena tidak mendapatkan imbalan uang.
Memang sangat sedih mendengarnya, bahkan sangat-sangat memilukan. Tidak jerakah kita atas gempa dan bencana di bumi kita. Tidakkah terbukakah mata dan hati kita bahwa sudah datang bencana dari laut, dari darat dan dari udara sebagai pertanda bahwa kita tidak pandai dan tidak mau merawatnya. Sekiranya tiada lagi segumpal daging yang mampu memberikan makna, maka makluk macam apakah yang namanya manusia ini.


-----o0o-----

0 Comments:

Post a Comment