Empat Peran CEO dan Tantangan Membangun Organizational Greatness
SWA Kamis, 21 Februari 2008
Oleh : Nugroho Supangat
Buku Dr. Stephen R. Covey, The 8th Habit, mempunyai subjudul yang merujuk pada tantangan perusahaan menuju ke depan, yaitu: From Effectiveness to Greatness. Intinya, pada era knowledge saat ini kriteria sukses sebuah organisasi – dan CEO-nya – tidak hanya bersandar pada ukuran kinerja finansial atau kuantitatif. Bersama para peneliti Franklin Covey Co., dia memperluas definisi great companies yang dibuat oleh Jim Collins dalam Good to Great, yaitu: perusahaan yang berkinerja tinggi secara berkesinambungan. Kriteria performa superior sustainable ini dilengkapi dengan tiga kriteria tambahan: pelanggan yang loyal; karyawan yang berdedikasi tinggi; dan kontribusi yang menonjol – loyal customer, engaged employee, distinctive contribution. Keempat kriteria ini yang menjadi patokan apa yang disebut oleh Franklin Covey Co. sebagai Organizational Greatness.
Mengapa ini menjadi tantangan organisasi masa depan? Kinerja tinggi berkesinambungan, sudah jelas bahwa ini yang dikejar oleh setiap organisasi, baik yang for profit maupun yang not for profit. Kriteria pelanggan yang loyal adalah indikator utama untuk memprediksi kinerja perusahaan di masa depan. Pelanggan yang loyal bukan sekadar puas dan setia terhadap produk/jasa perusahaan kita, melainkan mereka juga menjadi promotor. Mereka memberi usulan dan rekomendasi kepada orang lain untuk memakai jasa organisasi kita. Membangun net promotor score ini ternyata terbukti menjadi salah satu indikator leading terpenting untuk meramal kinerja perusahaan ke depan.
Kemudian, karyawan yang berdedikasi tinggi adalah motor perusahaan terutama di knowledge economy global saat ini, di mana karyawan bukanlah sekadar aset produksi, melainkan telah menjadi knowledge worker dengan mobilitas yang semakin tinggi. Terakhir, kontribusi yang menonjol adalah kriteria yang mempertanyakan apa nilai tambah perusahaan di luar mencetak laba. Apa kontribusi yang perusahaan berikan pada lingkungan dan masyarakat di mana organisasi itu berusaha? Semakin unik dan berbeda kontribusi perusahaan, maka semakin besar dampaknya pada lingkungan ataupun pasar yang digeluti, dan semakin besar kemungkinan organisasi itu mempertahankan kebanggaan dan dedikasi karyawannya.
Untuk mencapai Organizational Greatness, empat peran baku yang dimiliki sang pemimpin – yakni: menjadi panutan, perintis, penyelaras dan pemberdaya – menjadi semakin tinggi. Sebagai panutan dia harus dapat menjadi sumber inspirasi kepercayaan. Jika karyawan tidak mempunyai rasa percaya yang genuine kepadanya, ruang gerak dia akan bertambah berat. Sebaliknya jika dia memang dipandang sebagai panutan, dia tidak hanya akan memimpin dengan kekuasaan formal yang dia miliki dari jabatannya, tapi juga mempunyai modal ekstra pengaruh informal yang menjadi aset luar biasa. Untuk menjadi panutan, kita tidak perlu menjadi superperson – orang yang paling bisa dalam segala bidang. Dalam The Best CEO 2008, angka rata-rata terendah untuk kriteria panutan adalah sikap terbuka atas kelemahannya.
Di era serba maju saat ini, menjadi seorang CEO yang sangat kompeten dan mempunyai integritas tinggi merupakan keharusan. Namun, dia tidak perlu terlihat sebagai orang yang paling pandai atau paling sempurna. Kerendahhatian (bukan sifat minder atau kurang percaya diri) atas keterbatasan dia, akan membuatnya terbuka agar sejawatnya mau saling melengkapi. Ini juga mencegah dia gpompa wibawah ke mana-mana – sebuah sikap yang kurang dihargai oleh knowledge worker.
Sebagai perintis dia harus benar-benar mengerti keadaan pasar dan kebutuhan stakeholder-nya dengan baik. Jangan sekadar mempunyai firasat dan pengalaman. Pemimpin harus bisa membuat inisiatif yang berani, dan seperti yang diingatkan oleh Jim Collins, semua ini harus didasari understanding not bravado. Apa yang akan menjadikan pelanggan sebagai promotor perusahaan kita? Bagaimana meningkatkan mutu pelayanan prima yang merata dan tidak hanya di beberapa bagian atau wilayah? Apa kontribusi unik dan menonjol yang diberikan oleh organisasi ini di luar mencetak laba untuk shareholder? Pemikiran yang kritis itu kemudian harus dapat diimplementasi sebagai penyelaras ke dalam sistem kerja di organisasinya, dan dengan memilih orang yang tepat pada setiap posisi organisasi.
Yang menarik, sejak survei SWA bersama Synovate dan Dunamis Organization Services dilakukan tahun 2002, peran perintis selalu menjadi peran yang paling rendah di antara empat peran CEO. Ini sejalan dengan observasi Ram Charan, penulis buku Execution: The Discipline of Getting Things Done, yang mengatakan bahwa banyak orang memandang eksekusi sebagai pekerjaan penuh detail yang tidak layak dikerjakan oleh martabat seorang pemimpin bisnis. Ini anggapan yang salah. Ini adalah pekerjaan pemimpin yang terpenting. Dan ini penyebab kenyataan bahwa eksekusi bukan strategi, yang sering menjadi kendala utama kesuksesan sebuah organisasi.
Sebagai pemberdaya, sang CEO mewujudkan kriteria Organizational Greatness untuk menciptakan karyawan berdedikasi tinggi. Di era knowlegde, mencari talenta terbaik di pasar sangat sulit, dan mempertahankan mereka agar bukan sekadar betah tapi juga mempunyai creative excitement dalam bekerja merupakan fungsi pemimpin yang kritikal. Dari hasil riset The Best CEO 2008, ternyata memberi waktu untuk mengajar orang lain menjadi angka terendah dalam peran pemberdaya. Para CEO memang sibuk, tapi knowledge worker sangat menghargai, bahkan menginginkan agar mereka meluangkan waktu untuk berbagi ilmu mereka secara langsung, persis seperti yang selalu dikerjakan oleh CEO General Electric di kampus Crottonville mereka yang terkenal.
Membawa organisasi kita dari effectiveness ke greatness inilah tantangan masa kini para CEO untuk membawa perusahaan mereka tetap sukses dan produktif di tahun-tahun mendatang.(*)
Monday, March 10, 2008
EMPAT PERAN CEO
Posted by Anonymous at 8:43 PM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 Comments:
Post a Comment