Segenap Redaksi Jafek Mengundang teman-teman alumi FE UNS untuk menjadi kontributor Jafek online, dengan cara mengirimkan alamat email ke jafekuns@gmail.com, atau mengisikannya ;ewat kolom comment di blog ini....Salam Sukses

Monday, September 24, 2007


Naik Sepeda Onthel Berwisata ke Masa Lalu

Saban Senin dan Jumat, Chandra Meizir (44 tahun) bagai memutar jarum jam sejarah. Pada hari-hari itulah --seperti Scott Bakula dalam serial televisi Quantum Leap-- ia 'melesat' ke masa lampau, yakni ke Batavia tahun 1920-an. Dan, Chandra melakukannya lewat sepeda onthel. Inilah yang dilakoninya pada Senin dan Jumat pagi itu. Ia keluarkan sepeda onthel kesayangannya dari ruang tamu. Kemudian ia tanggalkan kemeja kantornya dan hanya memakai kaos oblong. Sebuah topi demang lantas ia pasangkan di kepala. Hmmm, mirip sudah ia dengan meneer-meneer zaman Belanda.



Sang sepeda kuno itu pun mulai mengukur jalan. Dari rumahnya di bilangan Kuningan, Jaksel, Chandra pun meluncur hingga ke kantornya di daerah Pasar Minggu di atas sepeda Gazelle buatan Belanda tahun 1920. Begitulah cara ia 'berwisata' ke masa lalu.

Nah, di tengah hiruk-pikuk kemacetan Ibu Kota, Chandra dan sepeda 'Oemar Bakri'-nya kontan menyajikan pemandangan yang kontras. Tak sedikit yang lantas mengacungkan jempol kepadanya. Chandra membalasnya dengan senyum. Kalau sudah begitu, kata Chandra,''Rasanya bangga banget.'' ''Kawas bule, euy (seperti orang bule). Meneer, meneer,'' begitu Ricky Hilmansyah Wijaya (31 tahun) menirukan sapaan orang-orang di jalan, setiap kali ia menggelosor di atas sepeda onthelnya di jalanan kota Bandung. Ricky memakai baju khas demang saat itu. Lengkap dengan jasnya.

Di rumahnya, ia memiliki tujuh unit sepeda lawas itu. Salah satunya adalah merek Veeno keluaran tahun 1836 buatan Belanda. Ia juga memarkirkan Gazelle, Philip, Cicloid, Hercules, Magneet, atau Simplex. Inilah sepeda-sepeda generasi pertama yang masuk ke Indonesia. Sejak dibuat kali pertama pada 1971 di Prancis, sepeda bermigrasi ke Nusantara baru pada 1910-an. Pemerintah kolonial menamakannya Fiets. Namun, lidah orang Jawa menyebutnya pit.

Lantas mengapa dinamai onthel? Onthel adalah bahasa Belanda yang berarti mengayuh. Jadi, sepeda onthel adalah sepeda kayuh (sebab saat ditemukan di Eropa, sepeda belumlah memakai pedal dan berbahan kayu). Chandra dan Ricky adalah segelintir dari ribuan penggila sepeda onthel di negeri ini --para penggila masa lalu. Dan, Imam Hartoyo adalah salah satunya. Pria usia 50 tahun ini adalah salah satu pendiri Prima Onthel Club (POC), yakni sebuah perkumpulan sepeda onthel di Bekasi yang diawaki 70-an orang. Kebanyakan anggota POC adalah bapak-bapak paruh baya --dari pimpinan partai politik, manajer, lurah, hingga pengusaha yang supersibuk. Nah, kata Imam, alasan mereka berkecimpung di komunitas ini, cukup sederhana. ''Mereka ingin mendobrak kebosanan setelah bekerja dari Senin hingga Jumat,'' tuturnya. Lebih dari itu, mereka sesungguhnya mencoba keluar dari irama kehidupan modern yang sesak. Naik sepeda onthel, tambah Imam, ''Seolah membawa kita kembali ke kehidupan zaman dahulu yang tenteram, dan damai. Paling tidak, kita bisa tebar senyum, deh,'' ia tersenyum kecil.

Para bapak ini lantas berwisata ke masa lalu dengan cara yang semarak. Tak hanya naik sepeda onthel, lusinan anggota POC sepakat untuk mengenakan pakaian para meneer atau demang zaman Belanda saat berkumpul. Atau memakai pakaian dinas upacara (PDU), yang lazim dipakai para pejabat pada masa kolonial.

Soal pakaian, Chandra Meizir tak ketinggalan. Pendiri Komunitas Onthel Batavia (KOBA) ini tak pernah bosan mengenakan pakaian favoritnya saat ngumpul bareng dengan para 'onthelis' se-Jakarta. Pakaian favorit Chandra? Seragam kebesaran almarhum Bung Karno, plus peci di kepalanya. Chandra amat pas dalam pakaian itu. Ia sepintas amat mirip Bung Karno. Karena itulah ia sempat didapuk naik mobil Bung Karno betulan pada napak tilas HUT RI ke-60.

Di Bandung, para anggota Paguyuban Sepeda Baheula (PSB) juga berwisata ke masa lalu lewat pakaian 'jadul'. Saban hari Ahad mereka berkumpul di depan Gedung Sate, Bandung. Dari 70-an yang hadir, lebih dari separuhnya mengenakan pelbagai pakaian zaman baheula seperti seragam 'kompeni', tentara Jepang, pakaian meneer Belanda, atau pakaian kampret khas Priangan. Alhasil, ''Orang-orang pernah berebut sekadar ingin foto-foto dengan kita,'' kata Ricky Hilmansyah, pimpinan PSB.



Pulang Bersama dengan Truk

Ada ribuan penggemar sepeda onthel di negeri ini. Mereka tergabung di puluhan klub sepeda onthel yang tertebar dari Jakarta hingga Pasuruan. Saat peringatan Bandung Lautan Api (BLA) pada Maret 2007 silam menjadi hajatan besar para penggemar sepeda onthel Tanah Air.

Nyaris seribu 'onthelis' dari Bandung, Jakarta, Surabaya, hingga Lombok, berkumpul di lapangan Tegalega, Bandung. Mereka melakukan pawai hingga ke Kota Parahyangan, Padalarang, dalam aneka pakaian 'jadul'. ''Heboh banget,'' kata Ricky. ''Jalanan sampai macet.''

Dimulai di Yogyakarta, dan mulai menjamur pada 2000-an, komunitas sepeda onthel kini telah menjadi kekuatan yang terorganisasi rapi. Di tingkat nasional, puluhan klub sepeda onthel ini tergabung dalam Komunitas Sepeda Tua Indonesa (KOSTI). Persaudaraan antarklub lumayan kuat. Ini misalnya ditunjukkan oleh tur-tur bersama yang diikuti berbagai klub seperti peringatan BLA 2007 atau Jambore Nasional yang diadakan di Surabaya beberapa waktu lalu, meski hanya diikuti sedikit peserta.

Ada satu kesamaan di antara komunitas yang jumlahnya puluhan ini. Nyaris dipastikan mereka selalu menggelar acara kumpul rutin saban akhir pekan. KOBA, misalnya, yang beranggotakan 265 orang, getol menghelat kongkow-kongkow di sekitar bundaran Hotel Indonesia setiap hari Ahad pukul 07.00 hingga 08.30 WIB.

Ada saja anggota yang mengenakan seragam 'kompeni'. Atau kostum daerah yang nyentrik seperti pakaian Madura, blangkon, hingga koteka. Sepanjang 1,5 hingga 1 jam mereka lantas mengarahkan setirnya ke tempat-tempat bersejarah, dari Monas hingga ke Gedung Arsip Nasional. Di Bandung, PSB rutin ngumpul di Gedung Sate pada Ahad sejak pukul 08.00 pagi. Juga dengan kostum 'jadul'. Mulai pukul 10.00-an, kata Ricky, sekitar 80-an sepeda onthel mulai bergerak meramaikan kota Bandung yang asri. Yang dilakoni para 'onthelis' PSB ini cukup unik: Sembari konvoi, mereka mencabuti poster-poster di sepanjang jalan. Poster-poster ini kerap menjadi pemandangan yang mengotori tembok kota. ''Kita juga menurunkan spanduk-spanduk yang sudah habis masa berlakunya,'' ujar Ricky. ''Ini kegiatan positif. Hitung-hitung membantu pemda.''

Di tengah kesenjangan sosial yang menganga, sepeda onthel menjadi sarana mengembalikan para penggemarnya ke titik nol. Persamaan dan persaudaraan menjadi kata kunci. Ketika seseorang sudah naik sepeda onthel,''Maka semua status dan jabatan di kantor ditanggalkan,'' kata Imam Hartoyo. ''Kita semua sama. Kita ingin senang-senang.''

Anggota komunitas sepeda onthel ini memang berasal dari beragam profesi dan usia. KOBA, misalnya, diawaki oleh pengacara, dokter, hingga tukang teh botol. Sementara POC dianggotai calon wali kota hingga ibu-ibu rumah tangga. PSB, klub yang beranggotakan 240 orang ini, bahkan diawaki 'onthelis' usia 8 tahun hingga 87 tahun. Meski beranggotakan orang dengan pelbagai status sosial,''Kita selalu kompak. Sehabis tur, kita harus pulang bersama. Naik truk!'' begitu kata Imam.



Kisah 'Penggali Kuburan'

Sejak menikah beberapa tahun lalu, Ricky Hilmansyah kini masih tinggal bersama mertuanya di pusat kota Bandung. Alih-alih menabung untuk membeli rumah sendiri, Ricky lebih rela menggelontorkan duit hingga Rp 45 juta untuk memborong tujuh sepeda onthel. ''Istri saya mendukung kok,'' kata dia sembari tertawa kecil.

Hobi memang selalu memiliki logikanya sendiri. Alasan Chandra Meizir kesengsem sepeda onthel terwakili pada empat kata --nilai historis yang tinggi. ''Coba hitung, berapa ribu kilometer yang sudah ditempuh sepeda ini. Atau berapa puluh orang yang naik di atas sadelnya. Buat saya, ini memberikan sensasi tersendiri,'' tutur dia.

Jatuh hati pada onthel pada 2004, Chandra kini memiliki 16 koleksi sepeda onthel. Saking sayangnya, Chandra memarkirkan tiga unit sepeda onthelnya di ruang tamu. Para tamu yang bersambang ke rumah Chandra di bilangan Kuningan, Jaksel, karenanya, sekaligus disuguhkan 'pameran' sepeda-sepeda 'jadul'.

Toh, kenikmatan berkecimpung di hobi sepeda onthel telah dimulai bahkan sejak masa perburuan barang-barang lawas itu. Nah, Chandra punya cerita unik soal itu. Ia pernah 'membongkar kuburan' sebuah sepeda onthel! Ceritanya begini. Seorang informan memberitahu soal keberadaan sebuah onthel kuno di bilangan Mampang, Jaksel. Sayangnya, sepeda klasik ini sudah terkubur di dalam tanah selama puluhan tahun. Chandra penasaran.

Ketika disambangi, sang empunya sepeda setuju membongkar kuburan sepedanya. Dengan satu syarat. ''Sepeda ini dihargai satu juta rupiah,'' ia menirukan. Maka penggalian pun dimulai. Akhir cerita, sepeda berhasil diangkat dari kedalaman dua atau tiga meter. Yang muncul adalah sepeda Gazelle buatan Belanda tahun 1927. ''Kabarnya, sepeda ini sudah tertimbun tanah selama lima kali musim banjir!,'' kata dia antusias.

Padahal, kalau mau jujur, sepeda-sepeda itu tak lebih batangan besi tua. Umurnya sekitar 80 tahunan hingga 100-an tahun. Tetapi, sebagai besi tua,''Ini bukan sembarang besi. Kualitasnya yahud,'' kata Imam Hartoyo. Orang Eropa zaman dahulu, kata Imam, betul-betul apik dalam membuat sepeda. Sepeda-sepeda itu, sudah dipersiapkan untuk hidup selama puluhan tahun. ''Coba saja. Sepeda saya ini usianya sudah lebih dari setengah abad, tapi amat nyaman saat dipakai,'' kata dia.

Inilah keajaiban sepeda onthel. Meski ia adalah kumpulan batangan besi, bahkan beratnya mencapai 25 hingga 30 kilogram, ''Ketika dinaiki kok rasanya ringan dan nyaman,'' kata Ricky. Ia membuktikannya dengan bersepeda onthel dari Bandung ke Cirebon selama 13 jam bersama 23 anggota PSB lain.

Lagi-lagi, logika tak selamanya punya tempat dalam urusan hobi. Segepok duit tak mampu meluluhkan kecintaan Ricky pada sepeda Veeno miliknya. Padahal, tak sedikit yang membujuk Ricky untuk melepas sepeda buatan Belanda tahun 1836 itu. Terakhir ada yang menawar Rp 10 juta. Tapi, Ricky tetap emoh, meski ia cuma merogoh beberapa ratus ribu saja saat membelinya.

Malah, Ricky mengaku tak kepikiran melego satu pun dari tujuh koleksi sepedanya itu. Maklum, ketujuh sepedanya adalah hasil mengobok-obok ke berbagai kota. Bahkan hingga ke Surabaya, Malang, atau Pekalongan. ''Saya sampai pernah menggedor toko orang di Pekalongan untuk cari onderdil, ha ha.''

0 Comments:

Post a Comment