ANTHURIUM GUNAWAN
Oleh : Djoko Karyono
(FE UNS Angkt. 79)
Oleh : Djoko Karyono
(FE UNS Angkt. 79)
Judul di atas bukan menyebutkan nama seseorang untuk menjadi tema tulisan, tetapi akal-akalan untuk menghubungkan jenis tanaman hias yang lagi booming saat ini, yaitu jenis tanaman Anthurium dengan para penjual bunga atau penjual tanaman hias yang dalam hal ini diwakili seseorang yang kebetulan bernama Gunawan.
Kalau selama ini pedagang tanaman hias indentik dengan tanaman yang mengandalkan keindahan bunga, maka tahun 2006 – 2007 pasar tanaman hias Indonesia dihebohkan oleh merebaknya jenis tanaman hias yang mengandalkan keelokan daun. Sang pelopor dari merebaknya tanaman hias jenis ini adalah jenis tanaman dari keluarga araceae dengan jenis Anthurium. Anthurium sendiri berasal dari bahasa latin anthos berarti bunga, ori yang berarti ekor dan ion yang artinya kecil. Jadi secara lexical Anthurium diartikan sebagai bunga ekor kecil.
Bunga Anthurium yang berbentuk seperti ekor kecil jelas tidak indah, tetapi ia menawarkan keindahan lain berupa keindahan daun. Ternyata era sekarang ini keindahan daun tadi menjadi trend dikalangan para penghobi atau kolektor tanaman hias. Sekedar mengingatkan, Anthurium sendiri dikelompokan dalam tiga jenis, yaitu hookeri, jemani dan wave of love. Jenis lainnya dari tanaman hias yang menawarkan keelokan daun diantaranya adalah aglonema, philodendron dan alocasia.
Untuk mengetahui betapa fantatisnya Anthurium ini, simak saja dari harga tanaman tersebut dipasaran. Bilangan harga untuk satu pot tanaman hias jenis Anthurium tidak puluhan ribu rupiah, tapi jutaan rupiah bahkan ratusan juta rupiah. Sejauh ini tercatat harga tertinggi untuk satu pot Anthurium dari jenis jemani kobra yang terjadi pada saat lelang tanaman hias di Pusat Promosi Tamanan Hias Lapangan Banteng – Jakarta adalah Rp. 260.000.000 (dua ratus lima puluh juta rupiah). Tentu ini sebuah harga yang luar biasa – kalau tidak boleh disebut gila – untuk satu buah pot tanaman dengan harga setinggi itu. Harga itu masih belum seberapa kalau dibandingkan rekor penjualan untuk jenis tanaman hias yang dipegang oleh aglonema perak. Satu pot tanaman ini dihargai Rp. 600 juta lebih. Kali ini terpaksa saya sebut “gila”. Betapa tidak, untuk satu pot tamanan sama dengan harga satu mobil mewah.
Komentar yang bermunculan atas fenomena harga tanaman hias inipun bermacam-macam. Dari yang sinis dengan menyebut hanya orang gila yang mau membeli daun dengan jutaan rupiah, sampai yang mempertanyakan benarkan tanaman hias merupakan investasi yang memberikan yield yang menawan.
KOLEKDOL
Istilah Kolekdol (kolek dan dol) yang artinya mengkoleksi lalu menjual saya dengar pertama kali dari pedagang tamanan hias yang tadi saya sebutkan namanya adalah Gunawan. Waktu liburan tujuhbelasan 2007 kemarin saya sempatkan mampir kerumah Gunawan di daerah Mbekonang – Sukoharjo. Dalam pikiran saya Gunawan ini bisnisnya ternak penggemukan sapi. Ini sesuai pengakuannya waktu dia bertandang kerumah saya di Jakarta. Ternyata diluar perkiraan saya, karena dihalaman rumahnya yang baru dibangun itu bukan dipenuhi kandang sapi, tetapi dipenuhi dengan tanaman hias dari berbagai jenis. Cerita punya cerita ternyata dia berkongsi dengan Debleng dan Pakilik bisnis tanaman hias. Dua nama terakhir yang saya sebutkan adalah teman seperjuangan Gunawan waktu masih jual nasi kucing di Laweyan.
Gunawan memulai cerita succes story-nya, bahwa dia berhasil membangun sebuah rumah dari hasil jual daun, kemudian dapat untuk membeli sepeda motor pakai daun juga – maksudnya hasil dari jualan tanaman Anthurium bisa untuk membangun rumah ataupun membeli kendaraan. Anehnya dia tidak mau disebut sebagai pedagang apalagi tengkulak, dia memproklamerkan dirinya dengan sitilah kolekdol tadi. Saya pikir apalah artinya sebuah sebutan, mau kolekdol atau kolekdul tetaplah dia kulakan Anthurium dengan harga murah lalu menjual dengan harga sangat mahal. Itulah pemahaman sejatinya dari ilmu pedagang, siapapun calon pembelinya tidak memandang saudara, teman apalagi orang tak dikenal, maka berlaku prinsip “ kalau bisa jual mahal kenapa harus jual murah”.
Didepan saya sempat disorongkan tiga buah pot kecil berisi tanaman yang waktu itu saya juga belum kenal jennis tanaman yang disorongkan di depan saya itu. Tapi Gunawan menyebutnya sebagai jemani kobra dan jemani golden. Mulai dia menyebutkan harga masing-masing pot. Pot pertama yang berisi tanaman kecambah dua lembar daun berwarna kekuningan, dia hargai Rp 750.000 – inipun nanti setelah saya konfirnmasi ulang melalui telpon harganya berubah menjadi 1,75juta. Pot kedua berisi tanaman dengan 4 lembar daun berwarna hijau yang dia sebut jemani kobra dia bandrol 7,5 juta dan satu lagi yang dia sebut dengan jemani golden dengan 6 lembar daun dia sebut harganya sama dengan motor mio baru.
Ketika saya memprotes harga yang menurut saya tidak wajar itu, Gunawan cuma menjawab “memang tidak masuk akal tapi tapi itu fakta”. Dilain kesempatan dia juga menyebutkan bahwa para kolektor maupun pedagang Anthurium dalam melakukan transaksi hanya dengan 4 tahapan, yaitu datang, lihat, senang, dan langsung bayar. Tidak ada yang protes, tidak ada komentar kalau ada proses tawar menawar biasanya sedikit sekali perubahan harganya.
Hanya satu pertanyaan yang tidak bisa dijawab oleh Gunawan, yaitu kenapa orang mau membeli tanaman dengan harga selangit. Waktu pertanyaan itu saya ajukan dia hanya menggelang, karena memang sulit dijelaskan alasan orang mau memburu Anthurium dengan memberikan harga ratusan juta rupiah. Alasan klasik yang sering saya dengar adalah karena alasan gengsi seseorang, kelangkaan dari jenis tanaman itu sendiri atau untuk alasan investasi karena harga jualnya dari hari ke hari selalu naik.
INVESTASI
Tabir dari prinsip investasi dengan spekulasi ibarat sebatas rambut, sangat tipis dua kegiatan itu hanya dibedakan dari niat orang yang melakukan transaksi. Satu sisi dianjurkan sedang sisi lainya harus dihindari bahkan diharamkan. Kita dianjurkan untuk malakukan kegiatan investasi baik untuk menjaga ketidak-pastian maupun untuk menyimpan kelebihan kekayaan yang kita peroleh (saving). Tetapi kita akan menghadapi cercaan dan bahkan berbagai bentuk pelarangan manakala kita melakukan kegiatan spekulasi. Bisa cercaan dari keluarga maupun pelarangan dari sudut keyakinan.
Betapa tipisnya perbedaan itu akan nampak nyata dalam melakukan transaksi jual beli surat berharga atau efek – utamanya jual beli saham. Apabila kita membeli saham dengan niat investasi, artinya kelebihan dari pendapatan dibelikan saham dengan niat mengusai saham tersebut dalam jangka waktu lama dan akan menjualnya manakala membutuhkan sejumlah dana yang ia perlukan, maka kegiatan ini dikategorikan sebagai kegiatan investasi. Tetapi apabila kita membeli saham dengan niat akan menjual secepatnya (short selling) untuk memperoleh keuntungan (margin), maka ini bisa dikategorikan sebagai kegiatan spekulasi. Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyebutnya short selling sebagai transaksi yang tidak memenuhi prinsip syariah (syar’i) karena transaksi semacam itu bersifat spekulasi.
Tentu berbeda jual beli saham dengan jual beli Anthurium atau paling tidak belum ada rujukan untuk mengkategorikan apakah melambungnya harga Anthurium sebagai dampak dari kegiatan spekulasi. Kalau selama ini hanya masalah gengsi seseorang yang dituduh sebagai penyebab utama tingginya harga Anthurium, mungkin sekarang kita perlu untuk tidak apriori terhadap sikap orang yang menggilai Anthurium. Bisa jadi beberapa teori ekonomi barangkali bisa menjelaskan atas perilaku para penghobi dan kolektor tanaman hias.
Kita tentu ingat nama Abraham Maslow, dialah yang mengajukan “teori hirarki kebutuhan manuasia”. Bahwa kebutuhan manusia secara berjenjang terdiri dari kebutuhan dasar (basic needs), kebutuhan rasa aman (savety needs), kebutuhan interaksi sosial (social needs), kebutuhan akan pengakuan (actualization needs) dan yang terakhir dan merupakan puncak kebutuhan manusia adalah kebutuhan akan keindahan (esteem needs).
Perdagangan pada kenyataannya tersegmentasi pada hikaraki kebutuhan manusia. Sesuai dengan hirarki kebutuhan manusia tersebut, maka pasar paling besar pastilah pasar untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup manusia, baik berupa kebutuhan makan, sadang dan papan. Kemudian mengerucut pada kebutuhan yang berkaitan dengan keindahan yang ingin dinikmati manusia (esteem needs). Meskipun segmen disini lebih sempit jelas ada kelompok orang yang yang secara ekonomis perlu untuk dipuaskan kebutuhannya.
Rupanya ceruk inilah yang dihuni Anthurium dan tanaman hias ekslusif lainnya. Perilaku orang pada tingkatan esteem needs jelas berbeda dengan perilaku orang dalam upaya memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Pada tahapan esteem needs, orang akan mengeluarkan segala upaya yang dia miliki untuk mendapatkan keindahan yang dia inginkan. Celakanya persepsi keindahan adalah sangat subyektif bahkan terkadang irrasional. Pada kasus Anthurium ini kita tidak bisa mencela para kolektor dan penghobi sebagai kelompok yang irrasional, kita juga tidak bisa menuduh mereka yang mengaguminya sebagai kelompok orang egois karena keindahan adalah hak subyektif individu.
Kita juga tidak bisa protes kepada orang-orang yang seprofesi dengan Gunawan yang telah menjual Anthurium dengan harga selangit itu. Karena mereka mendapatkan rejekinya atas berlakunya mekanisme pasar, yaitu dimana ada permintaan maka akan ada penawaran. Paling banter kita mengingatkan kepada para kaum kolekdol itu bahwa dalam keuntungan yang dia terima dari penjualan Anthurium itu ada sebagian harta dari kaum fakir miskin sebesar 2,5%.
Pagi para penghobi dan kolektor tanaman Anthurium kita persilakan mereka untuk mengagumi keindahan daun Anthurium dengan cara mereka sendiri, biarkan mereka menikmati hak subyektif individu sepenuhnya. Namun satu hal yang tidak boleh dilupakan dan perlu kita usik adalah bagaimana mereka berhitung atas rejeki yang dia terima. Apakah mereka mendapatkan rejeki dijalan yang diridhoi, kemudian apakah mereka telah pandai membelanjakan harta yang dimiliki dengan cara-cara rasional.
Kalau kita sangat fasih me-retensi haram dan halal-nya suatu makanan, kenapa kita tidak pandai memilah manakah rejeki yang haram dan manakah rejeki yang halal. Atau lebih tepatnya kenapa tidak ada keberanian dari diri kita untuk menghisab rejiki sendiri. Di relung hati paling dalam akan nampak jelas haram dan halal-nya suatu perkara dan oleh karenanya upaya menyamarkan dua perkara itu sama saja membohongi diri sendiri. Katakan kepada istrimu (suamimu) dan anakmu berapa sebenarnya rejiki yang halal menjadi hakmu, agar dengan demikian mereka dapat menghisabmu sebelum kamu dihisab dihari kemudian.
Jakarta, 4 Oktober 2007
0 Comments:
Post a Comment